Cerita Dewasa Nikmatnya Cewek Penggoda Terbaru 2013 - Empat tahun lalu aku masih tinggal dikota B. Waktu itu aku berumur 26
tahun. Aku tinggal dirumah sepupu, karena sementara masih menganggur aku
iseng-iseng membantu sepupu bisnis kecil-kecilan di pasar. 3 bulan aku
jalani dengan biasa saja. Hingga akhirnya secara tak disengaja aku kenal
seorang pelanggan yang biasa menggunakan jasa angkutan barang pasar
yang kebetulan aku yang mengemudikannya. Bu Murni namanya. Sambil
ngobrol ngalor-ngidul aku antar dia sampai dirumahnya yang memang agak
jauh dari pasar tempat dia berjualan kain-kain dan baju.
Cerita Dewasa 2013 Terbaru - Sesampai
dirumahnya aku bantuin dia mengangkat barang-barangnya. Mungkin karena
sudah mulai akrab aku enggak langsung pulang. Toh, memang ini penumpang
yang terakhir. Aku duduk saja di depan rumahnya yang sejuk, karena
kebetulan ada seperti dipan dari bambu dihalaman di bawah pohon jambu.
Dari dalam aku mendengar suara seperti memerintah kepada seseorang..
"Pit.. Tuh bawain air yang dikendil ke depan..," begitu suara Bu Murni.
Aku
tidak mendengar ada jawaban dari yang diperintah Bu Murni tadi. Yang
ada tiba-tiba seorang gadis umur kira-kira 20 tahunan keluar dari rumah
membawa gelas dan kendil air putih segar. Wajahnya biasa saja, agak
mirip Bu Murni, tapi kulitnya putih dan semampai pula. Dia tersenyum..
"Mas, minum dulu.. Air kendil seger lho.." begitu dia menyapaku.
"I.. Iya.. Makasih.." balasku.
Masih
sambil senyum dia balik kanan untuk masuk kembali ke dalam rumahnya.
Aku masih tertegun sambil memandangnya. Seperti ingin tembus pandang
saja niatku, 'Pantatnya aduhai, jalannya serasi, lumayan deh..' batinku.
Tak seberapa lama Bu Murni keluar. Dia sudah ganti baju, mungkin yang biasa dia pakai kesehariannya..
"Dik Wahyu, itu tadi anak saya si Pipit.." kata Bu Murni.
"Dia tuh lagi ngurus surat-surat katanya mau ke Malaysia jadi TKW." lanjutnya. Aku manggut-manggut..
"O gitu yah.. Ngapain sih kok mau jauh-jauh ke Malaysia, kan jauh.. Nanti kalau ada apa-apa gimana.." aku menimpalinya.
Begitu
seterusnya aku ngobrol sebentar lalu pamit undur diri. Belum sampai aku
menstater mobil pickupku, Bu Murni sambil berlari kecil ke arahku..
"Eh
dik Wahyu, tunggu dulu katanya Pipit mau ikut sampai terminal bis. Dia
mau ambil surat-surat dirumah kakaknya. Tungguin sebentar ya.."
Aku
tidak jadi menstater dan sambil membuka pintu mobil aku tersenyum
karena inilah saatnya aku bisa puas mengenal si Pipit. Begitulah
akhirnya aku dan Pipit berkenalan pertama kali. Aku antar dia mengambil
surat-surat TKW-nya. Di dalam perjalanan kami ngobrol dan sambil
bersendau gurau.
"Pit.., namamu Pipit. Kok nggak ada lesung pipitnya.." kataku ngeledek. Pipit juga tak kalah ngeledeknya.
"Mas aku kan sudah punya lesung yang lain.. Masak sih kurang lagi.." balas Pipit..
Di
situ aku mulai berani ngomong yang sedikit nakal, karena sepertinya
Pipit tak terlalu kaku dan lugu layaknya gadis-gadis didesa. Pantas saja
dia berani merantau keluar negeri, pikirku.
Sesampai
dirumah kakaknya, ternyata tuan rumah sedang pergi membantu tetangga
yang sedang hajatan. Hanya ada anaknya yang masih kecil kira-kira 7
tahunan dirumah. Pipit menyuruhnya memanggilkan ibunya.
"Eh Ugi, Ibu sudah lama belum perginya? susulin sana, bilang ada Lik Pipit gitu yah.."
Ugi
pergi menyusul ibunya yang tak lain adalah kakaknya Pipit. Selagi Ugi
sedang menyusul ibunya, aku duduk-duduk di dipan tapi di dalam rumah.
Pipit masuk ke ruangan dalam mungkin ambil air atau apa, aku diruangan
depan. Kemudian Pipit keluar dengan segelas air putih ditangannya.
"Mas minum lagi yah.. Kan capek nyetir mobil.." katanya.
Diberikannya
air putih itu, tapi mata Pipit yang indah itu sambil memandangku genit.
Aku terima saja gelasnya dan meminumnya. Pipit masih saja memandangku
tak berkedip. Akupun akhirnya nekat memandang dia juga, dan tak terasa
tanganku meraih tangan Pipit, dingin dan sedikit berkeringat. Tak
disangka, malah tangan Pipit meremas jariku. Aku tak ambil pusing lagi
tangan satunya kuraih, kugenggam. Pipit menatapku.
"Mas.. Kok kita pegang-pegangan sih.." Pipit setengah berbisik.
Agak sedikit malu aku, tapi kujawab juga, "Abis, .. Kamu juga sih.."
Setelah
itu sambil sama-sama tersenyum aku nekad menarik kedua tangannya yang
lembut itu hingga tubuhnya menempel di dadaku, dan akhirnya kami saling
berpelukan tidak terlalu erat tadinya. Tapi terus meng-erat lagi, erat
lagi.. Buah dadanya kini menempel lekat didadaku. Aku semakin mendapat
keberanian untuk mengelus wajahnya. Aku dekatkan bibirku hingga
menyentuh bibirnya. Merasa tidak ada protes, langsung kukecup dan
mengulum bibirnya. Benar-benar nikmat. Bibirnya basah-basah madu.
Tanganku mendekap tubuhku sambil kugoyangkan dengan maksud sambil
menggesek buah dadanya yang mepet erat dengan tubuhku. Sayup-sayup aku
mendengar Pipit seperti mendesah lirih, mungkin mulai terangsang kali..
Apalagi
tanpa basa-basi tonjolan di bawah perutku sesekali aku sengaja
kubenturkan kira-kira ditengah selangkangannya. Sesekali seperti dia
tahu iramanya, dia memajukan sedikit bagian bawahnya sehingga tonjolanku
membentur tepat diposisi "mecky"nya.
Sinyal-sinyal
nafsu dan birahiku mulai memuncak ketika tanpa malu lagi Pipit
menggelayutkan tangannya dipundakku memeluk, pantatnya goyang memutar,
menekan sambil mendesah. Tanganku turun dan meremas pantatnya yang
padat. Akupun ikut goyang melingkar menekan dengan tonjolan penisku yang
menegang tapi terbatas karena masih memakai celana lumayan ketat. Ingin
rasanya aku gendong tubuh Pipit untuk kurebahkan ke dipan, tapi urung
karena Ugi yang tadi disuruh Pipit memanggil ibunya sudah datang
kembali.
Buru-buru
kami melepas pelukan, merapikan baju, dan duduk seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Begitu masuk, Ugi yang ternyata sendirian berkata
seperti pembawa pesan.
"Lik
Pipit, Ibu masih lama, sibuk sekali lagi masak buat tamu-tamu. Lik
Pipit suruh tunggu aja. Ugi juga mau ke sana mau main banyak teman.
sudah ya Lik.."
Habis
berkata begitu Ugi langsung lari ngeloyor mungkin langsung buru-buru
mau main dengan teman-temannya. Aku dan Pipit saling menatap, tak habis
pikir kenapa ada kesempatan yang tak terduga datang beruntun untuk kami,
tak ada rencana, tak ada niat tahu-tahu kami hanya berdua saja disebuah
rumah yang kosong ditinggal pemiliknya.
"Mas,
mending kita tunggu saja yah.. sudah jauh-jauh balik lagi kan mubazir..
Tapi Mas Wahyu ada acara nggak nanti berabe dong.." berkata Pipit
memecah keheningan.
Dengan berbunga-bunga aku tersenyum dan setuju karena memang tidak ada acara lagi aku dirumah.
"Pit sini deh.. Aku bisikin.." kataku sambil menarik lengan dengan lembut.
"Eh, kamu cantik juga yah kalau dipandang-pandang.."
Tanpa
ba-Bi-Bu lagi Pipit malah memelukku, mencium, mengulum bibirku bahkan
dengan semangatnya yang sensual aku dibuat terperanjat seketika. Akupun
membalasnya dengan buas. Sekarang tidak berlama-lama lagi sambil
berdiri. Aku mendorong mengarahkannya ke dipan untuk kemudian
merebahkannya dengan masih berpelukan. Aku menindihnya, dan masih
menciumi, menjilati lehernya, sampai ke telinga sebelah dalam yang
ternyata putih mulus dan beraroma sejuk. Tangannya meraba tonjolan
dicelanaku dan terus meremasnya seiring desahan birahinya. Merasa ada
perimbangan, aku tak canggung-canggung lagi aku buka saja kancing
bajunya. Tak sabar aku ingin menikmati buah dada keras kenyal berukuran
34 putih mulus dibalik bra-nya.
Sekali
sentil tali bra terlepas, kini tepat di depan mataku dua tonjolan
seukuran kepalan tangan aktor Arnold Swchargeneger, putih keras dengan
puting merah mencuat kurang lebih 1 cm. Puas kupandang, dilanjutkan
menyentuh putingnya dengan lubang hidungku, kuputar-putar sebelum
akhirnya kujilati mengitari diameternya kumainkan lidahku, kuhisap,
sedikit menggigit, jilat lagi, bergantian kanan dan kiri. Pipit
membusung menggeliat sambil menghela nafas birahi. Matanya merem melek
lidahnya menjulur membasahi bibirnya sendiri, mendesah lagi.. Sambil
lebih keras meremas penisku yang sudah mulai terbuka resluiting celanaku
karena usaha Pipit.
Tanganku
mulai merayap ke sana kemari dan baru berhenti saat telah kubuka celana
panjang Pipit pelan tapi pasti, hingga berbugil ria aku dengannya.
Kuhajar semua lekuk tubuhnya dengan jilatanku yang merata dari ujung
telinga sampai jari-jari kakinya. Nafas Pipit mulai tak beraturan ketika
jilatanku kualihkan dibibir vaginanya. Betapa indah, betapa merah,
betapa nikmatnya. Clitoris Pipit yang sebesar kacang itu kuhajar dengan
kilatan kilatan lidahku, kuhisap, kuplintir-plintir dengan segala
keberingasanku. Bagiku Mecky dan klitoris Pipit mungkin yang terindah
dan terlezaat se-Asia tenggara.
Kali
ini Pipit sudah seperti terbang menggelinjang, pantatnya mengeras
bergoyang searah jarum jam padahal mukaku masih membenam
diselangkangannya. Tak lama kemudian kedua paha Pipit mengempit kepalaku
membiarkan mulutku tetap membenam di meckynya, menegang, melenguhkan
suara nafasnya dan...
"Aauh..
Ahh.. Ahh.. Mas.. Pipit.. Mas.. Pipit.. Keluar.. Mas.." mendengar
lenguhan itu semakin kupagut-pagut, kusedot-sedot meckynya, dan
banjirlah si-rongga sempit Pipit itu. Iri sekali rasanya kalau aku tak
sempat keluar orgasme, kuangkat mukaku, kupegang penisku, kuhujam ke
vaginanya. Ternyata tak terlalu susah karena memang Pipit tidak perawan
lagi. Aku tak perduli siapa yang mendahului aku, itu bukan satu hal
penting. Yang penting saat ini aku yang sedang berhak penuh mereguk
kenikmatan bersamanya. Lagipula aku memang orang yang tidak terlalu
fanatik norma kesucian, bagiku lebih nikmat dengan tidak memikirkan
hal-hal njelimet seperti itu.
Kembali
ke "pertempuranku", setengah dari penisku sudah masuk keliang vagina
sempitnya, kutarik maju mundur pelan, pelan, cepet, pelan lagi, tanganku
sambil meremas buah dada Pipit. Rupanya Pipit mengisyaratkan untuk
lebih cepat memacu kocokan penis saktiku, akupun tanggap dan memenuhi
keinginannya. Benar saja dengan "Ahh.. Uhh"-nya Pipit mempercepat proses
penggoyangan aku kegelian. Geli enak tentunya. Semakin keras, semakin
cepat, semakin dalam penisku menghujam.
Kira-kira
10 menit berlalu, aku tak tahan lagi setelah bertubi-tubi menusuk,
menukik ke dalam sanggamanya disertai empotan dinding vagina bidadari
calon TKW itu, aku setengah teriak berbarengan desahan Pipit yang
semakin memacu, dan akhirnya detik-detik penyampaian puncak orgasme kami
berdua datang. Aku dan Pipit menggelinjang, menegang, daan.. Aku
orgasme menyemprotkan benda cair kental di dalam mecky Pipit. Sebaliknya
Pipit juga demikian. Mengerang panjang sambil tangannya menjambak
rambutku.. Tubuhku serasa runtuh rata dengan tanah setelah terbang ke
angkasa kenikmatan. Kami berpelukan, mulutku berbisik dekat telinga
Pipit.
"Kamu gila Pit.. Bikin aku kelojotan.. Nikmat sekali.. Kamu puas Pit?"
Pipit hanya mengangguk, "Mas Wahyu.., aku seperti di luar angkasa lho Mas.. Luar biasa benar kamu Mas.." bisiknya..
Sadar
kami berada dirumah orang, kami segera mengenakan kembali pakaian kami,
merapihkannya dan bersikap menenangkan walaupun keringat kami masih
bercucuran. Aku meraih gelas dan meminumnya.
Kami
menghabiskan waktu menunggu kakaknya Pipit datang dengan ngobrol dan
bercanda. Sempat Pipit bercerita bahwa keperawanannya telah hilang
setahun lalu oleh tetangganya sendiri yang sekarang sudah meninggal
karena demam berdarah. Tapi tidak ada kenikmatan saat itu karena berupa
perkosaan yang entah kenapa Pipit memilih untuk memendamnya saja.
Begitulah
akhirnya kami sering bertemu dan menikmati hari-hari indah menjelang
keberangkatan Pipit ke Malaysia. Kadang dirumahnya, saat Bu Murni
kepasar, ataupun di kamarku karena memang bebas 24 jam tanpa pantauan
dari sepupuku sekalipun.
Tak
lama setelah keberangkatan Pipit aku pindah ke Jakarta. Khabar terakhir
tentang Pipit aku dengar setahun yang lalu, bahwa Pipit sudah pulang
kampung, bukan sendiri tapi dengan seorang anak kecil yang ditengarai
sebagai hasil hubungan gelap dengan majikannya semasa bekerja di negeri
Jiran itu. Sedang tentangku sendiri masih berpetualang dan terus
berharap ada "Pipit-Pipit" lain yang nyasar ke pelukanku. Aku masih
berjuang untuk hal itu hingga detik ini. Kasihan sekali gue..